Selasa, 18 Mei 2010

Pandangan

Pandangan menjadi awal malapetaka…

Kejernihan qalbu seketika berubah cepat, dahsyat

Iblis masuk dengan derasnya

Mengubah yang bening menjadi gelap

Merasuk ke dalam meluapkan yang telah dikubur


Ooh pandangan yang menipu…

Kusangka kau benar dan membimbing

ternyata kau jahat dan menjerumuskan

Nyaris kutenggelam dalam buaianmu

Kalau saja cinta Allah tidak menghampiri

Ooh pandangan mata…

Kuingat kisah Abdullah Ibn Baaz yang bersyukur

Kuingat kedalaman ilmu dan akhlak yang memancar dari mata yang terhalang

Kadang ku rasa lebih baik seperti itu

Tapi Allah pasti tahu yang terbaik

Ooh pandangan…

Rasa rindu hidup di zaman Salaf

Firman Allah menjadi naungan

Sunnah kekasih tercinta menjadi teladan

Kapan lagi zaman itu hadir?


Ya Muqollibal Quluub, tsabbit qolbi ‘ala diinik,

Ya Muqollibal Quluub, tsabbit qolbi ‘ala diinik,

Ya Muqollibal Quluub, tsabbit qolbi ‘ala diinik.

–abu mujahid, May 2010-

Senin, 17 Mei 2010

Masih Perlukah Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia?

Masih Perlukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia?

Berikut jawaban saya atas pertanyaan yang disampaikan Dr.Yunus Hussein, S.H. LL.M. dalam perkuliahan hukum perbankan, program magister hukum ekonomi:

a.Bagaimana pendapat Saudara tentang Pembinaan dan Pengawasan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia (“BI”) selama ini?

Tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugas utama dari BI selaku Bank Sentral adalah:

Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam kaitannya dengan tugas ini, Bank Indonesia juga memiliki tugas yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia, yaitu mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia dengan mencetak uang, mengedarkan serta mengatur jumlah uang beredar. Di sini Bank Indonesia memiliki hak tunggal dalam mengeluarkan uang kertas dan uang logam. Bank Indonesia harus tetap menjaga uang selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, dalam komposisi pecahan yang sesuai, pada waktu yang tepat, dan dalam kondisi yang baik sesuai dengan kebutuhan;

Ketiga Bank Indonesia juga berfungsi mengembangkan sistem perbankan dan sistem perkreditan yang sehat dengan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan.
Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai:

1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana

2. Pelaksana kebijakan moneter;

3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat,baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan:
1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);

2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan

3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.

Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.

3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas pemeriksaan.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.

Selama ini, fungsi pembinaan dan pengawasan BI secara konsep sebenarnya berjalan cukup baik. Namun, kasus Bank Century terakhir ini, mencuatkan kembali issue lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh BI. Krisna Wijaya dalam KOLOM berjudul Revitalisasi Pengawasan Perbankan menekankan bahwa mungkin saja ada oknum pengawas yang melakukan error omission ataupun error commission. Error omission adalah timbulnya kerugian bank yang diakibatkan adanya unsur kesengajaan manusia untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh BI atau instansi terkait yang mengikat pada tata kelola perbankan. Sementara, error commission adalah timbulnya kerugian bank akibat prosedur bank yang belum sempurna atau pihak bank belum memiliki prosedur sehingga tidak ada larangan atau anjuran yang tegas bagi pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Kesalahan person/orang/Sumber Daya Manusia (“SDM”) harus dimaklumi. Siapa pun sulit untuk mengetahui niat jahat seseorang. Tidak ada alat yang bisa mendeteksi apakah seseorang itu memiliki niat yang baik atau jahat. Selain diperlukan sistem pengawasan yang tepat dan dinamis, diperlukan juga dukungan SDM yang berintegritas tinggi.

Kelemahan pengawasan bank oleh BI dapat terjadi karena simpul-simpul kerawanan dalam pengawasan bank. Pertama, pemilihan Dewan Gubernur BI melalui proses politik di DPR adalah simpul kerawanan utama karena seringkali menimbulkan kontroversi dan rawan berbagai kepentingan politik. Kedua, luasnya cakupan pengawasan bank oleh BI sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam jawaban saya ini, dapat menimbulkan kerawanan manakala proses pengambilan keputusan oleh Dewan Gubernur BI, sampai dengan keputusan diambil tidak mampu secara kokoh membentengi diri dari ancaman atau intervensi berbagai kepentingan dan peluang. Ketiga, pengendalian intern yang kredibel dan konsisten terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan bank juga dapat menjadi rawan manakala fungsi ini tidak bekerja secara benar. Hal ini mengingat fungsinya yang mudah diintervensi dan dilumpuhkan karena merupakan subsistem dari kepemimpinan tertinggi. Keempat, budaya kerja merupakan kerawanan kultur yang dapat mewarnai dan melemahkan fungsi pengendalian intern dalam pengawasan bank. Misalnya budaya kerja yang senang dijilat, dikasih “amplop”, menerima suap, malas memeriksa secara detail, dan lain sebagainya.

Kejatuhan dan kegagalan bank kerap terjadi di berbagai belahan dunia, secanggih apapun sistem pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pengawas. Amerika Serikat dan Inggris adalah contoh dua Negara yang sudah sangat canggih dan berlapis system pengawasan perbankannya, namun tetap “kecolongan” dengan praktik-praktik perbankan yang merugikan. Oleh karena itu, kuncinya adalah, siapapun pengawasnya, secanggih atau sehebat apapun lembaga pengawas, keberhasilan pengawasan tergantung dari berbagai pihak yang terlibat.

b.Bagaimana pendapat Saudara tentang Pengawasan dan Pembinaan Bank disatukan di bawah Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) bersama-sama dengan Pengawasan Penyedia Jasa Keuangan lainnya?

Pembentukan OJK adalah amanat dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (“UU BI”). Sehingga untuk menghindari adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang, maka OJK sebaiknya tetap dibentuk. Oleh karena itu, saya lebih sepakat dengan pendapat sebagaimana dikatakan oleh Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), menurut beliau, perlu adanya ide “OJK mini” yang hanya mengawasi perbankan semata-mata. Setelah nanti berjalan beberapa lama, perluasan pengawasan perbankan dan jasa keuangan lainnya bisa mulai melekat secara bertahap. Pendapat Sigit Pramono ini adalah jalan tengah untuk menjembatani pendapat yang pro OJK dan kontra OJK, khususnya dalam hal pengawasan perbankan, apakah masih berada di tangan BI atau berpindah ke tangan OJK. Skenario OJK mini ini lebih mudah dan tidak menimbulkan resiko transisi yang berbahaya. Pertama, organisasi dan SDM serta anggaran sudah tersedia. Kedua, tidak perlu melakukan amandemen UU BI. Ketiga, diperkirakan tidak menimbulkan komplikasi bagi pengawasan bank yang kini masih memegang porsi pasar keuangan sebesar 83%.

Toh apabila ingin dikaji lebih dalam, pembentukan OJK juga tidak menjamin adanya pengawasan yang lebih berkualitas. Sebab, sebagaimana saya katakan dalam jawaban a. tersebut sebelumnya, apapun sistem yang digunakan, jika pelaku-pelaku perbankan terkait pengawasan perbankan tidak becus, maka selama itu pula selalu ada celah bagi kecurangan/penyalahgunaan. OJK juga terbukti gagal di Inggris walaupun relatif sukses di Jepang. Jerman, yang sempat menjadi konsultan pemerintah dalam pembentukan BI yang independen telah kembali berbalik arah ke pengawasan bank oleh bank sentral.

Memang, menurut dokumen Biro Riset infobank, alasan-alasan pemisahan pengawasan bank dari BI dan menggabungkannya ke dalam OJK, antara lain untuk menghindari konflik kepentingan antara kebijakan moneter dan kebijakan pengawasan konglomerasi sektor jasa keuangan di Indonesia di masa depan, dalam hal ini terdapatnya suatu integrasi produk perbankan dan sektor jasa keuangan non bank maupun tindakan yang disebut sebagai regulatory arbitrage. Namun, BI tetap memiliki alasan mengapa mereka masih berharap pengawasan bank masih berada di ketiak BI. Pertama adalah agar akses informasi dapat terjaga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi global terkini. Kedua, struktur yang tepat untuk meminimalisasi permasalahan, dengan tetap memperhatikan perkembangan situasi perbankan dan keuangan baik nasional maupun global, adalah struktur yang menempatkan kegiatan operasional pengawasan bank tetap berada di bank sentral, dalam hal ini, BI.

Menurut infobank, jika OJK tetap akan dibentuk, BI mengusulkan agar sistem pengawasan lembaga keuangan ini dapat dituangkan dalam suatu model di mana deputi gubernur BI bidang pengawasan ex-officio akan menjadi anggota dewan komisioner OJK sekaligus sebagai chief supervisory officer otoritas pengawasan bank. Hal ini berarti, sharing informasi dan koordinasi antara OJK dan BI akan berjalan baik karena chief supervisory officer otoritas pengawasan bank dijabat oleh salah satu deputi gubernur BI. Model pengawasan bank yang diberikan kepada lembaga pengawas yang masih menginduk ke BI namun dengan China Wall yang ketat bisa membatasi conflict of interest karena komisionernya berasal dari BI dan Departemen Keuangan. Walaupun model seperti ini, menurut infobank, hanya kompromi politik agar tidak perlu mengamandemen UU No. 3 Tahun 2004 Tentang BI. Model ini sebenarnya untuk menghindari komplikasi dan prospek transisi yang murah, tidak hanya menyangkut biaya tapi juga dampaknya, karena koordinasi dan informasi data masih bisa didapatkan.

Jadi, saya masih sepakat dengan usul Sigit Pramono yang berpendapat perlunya ide OJK mini, yang semata-mata melakukan pengawasan dalam bidang perbankan, namun secara bertahap OJK ini nantinya akan melekat pada dirinya fungsi pengawasan jasa keuangan lainnya, tentu setelah juga melalui proses evaluasi.

c.Bagaimana saran Saudara tentang RUU OJK?

RUU OJK lahir dengan argumentasi untuk memenuhi keinginan kuat adanya otoritas jasa keuangan yang mandiri dan independen.

Jika dimungkinkan adanya perubahan, maka berkaca dari pengalaman Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris atau bahkan Jerman, maka sebaiknya ide OJK ini tidak perlu diteruskan. Sebab kenyataannya, Negara-negara maju tersebut justru kembali pada pemberian kewenangan pengawasan perbankan oleh bank sentral. Pengalaman dan argumentasi mereka lah yang perlu kita pelajari. Hal-hal prinsip apakah yang menyebabkan mereka pada akhirnya kembali pada pemberian kewenangan pengawasan perbankan oleh bank sentral.

Namun, seandainya kita tetap kukuh untuk melaksanakan amanat UU BI, sebaiknya ketentuan pasal yang menyatakan bahwa dewan komisioner sebagai pemimpin OJK yang namanya diusulkan Presiden kepada DPR, pasal ini dihapus saja. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Viraguna Bagoes Oka dalam KOLOM infobank, salah satu, bahkan simpul kerawanan yang utama adalah pintu celah di mana anggota DPR diberikan kesempatan untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon dewan gubernur BI. Maka dalam konteks OJK, hal tersebut juga bisa berlaku. Hal ini membuka kemungkinan intervensi politik. Mata publik tidak bisa lagi dibohongi, apalagi sekarang sedang terkuak skandal pelolosan salah satu dewan gubernur BI oleh fraksi tertentu di DPR.

Sebagai gantinya, dewan komisioner sebagai pimpinan OJK, namanya diusulkan oleh Presiden memperhatikan pertimbangan atau saran dari BI, Departemen Keuangan, dan DPR. Tanpa perlu lagi persetujuan DPR. DPR hanya sebatas dimintai saran. Persetujuan menjadi wewenang penuh Presiden dengan tetap memperhatikan saran dari BI, Depkeu, dan DPR.

Usul dari Korea Selatan juga perlu dipertimbangkan oleh Negara kita. Ketika kepala delegasi Korea Selatan yang juga mantan wakil perdana menteri serta menteri strategi dan keuangan Korea Selatan, Okyu Kwon berkunjung ke Jakarta bulan Januari 2010 lalu. Keberadaan Okyu di Indonesia dimaksudkan untuk melaporkan hasil penelitian yang diramu dalam program pemberian rekomendasi kebijakan terhadap negara berkembang atau KSP (Knowledge Sharing Program) yang dikembangkan Departemen Strategis dan Keuangan (MOSF) Korea Selatan. Tidak semua negara mendapatkan program ini, hanya negara-negara yang dianggap memiliki potensi untuk menjadi mitra strategis yang diberi program lengkap konsultasi hingga survei keuangan serta ekonomi ini.

Okyu menyarankan Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan terpisah dari Bank Indonesia dan juga pemerintah. Untuk itu, baik pemerintah maupun BI mesti dengan rela melepas sebagian kewenangannya. BI harus melepaskan pengawasannya terhadap perbankan, sedangkan Depkeu harus melepaskan pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Dengan begitu, menurut Okyu, OJK yang didirikan akan berdiri independen.


d.Di Negara mana sajakah ada OJK yang mengawasi seluruh PJK?

Di Inggris, Jepang, Australia. Korea Selatan sempat memiliki OJK, namun menurut Prof.Erman Radjagukguk dalam perkuliahan beliau pada perkuliahan Hukum Investasi dan Pasar Modal dalam program Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, Korea Selatan dianggap tidak berhasil menerapkan OJK, karena juga terjadi perdebatan sengit di sana, sehingga OJK berjalan kurang mulus.
Amerika Serikat memperkuat kewenangan The Fed (bank sentral AS) dalam hal pengawasan perbankan dan jasa keuangan lainnya;
Inggris memiliki Financial Service Authority;
Jepang memiliki Japan Financial Service Authority;
Australia memiliki Australian Prudential Regulatory Authority (APRA).


e.Bagaimanakah pengalaman Negara-negara tersebut dalam menerapkan OJK, berhasilkah atau kurang berhasil?

Kurang berhasil.

Seperti di Amerika Serikat, dengan pengawasan yang berlapis dan pelopor pengawasan berbasis resiko bisa terpuruk dalam krisis ekonomi, yang bermula dari macetnya subprime mortgage. Hal ini mencerminkan tetap adanya sisi kelemahan suatu sistem pengawasan, yang dalam hal ini bersumber dari keserakahan pelaku pasarnya. Krisis itu akhirnya membuat AS terpuruk dalam resei serta jatuhnya bank dan lembaga keuangan papan atas yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dalam kasus Amerika Serikat ini, pemicu krisis disebabkan adanya kelemahan pengawasan di bidang nonbank (shadow banking), yang membiarkan akumulasi resiko yang berlebihan pada lembaga-lembaga tersebut. Tercatat sekurangnya 40 bank bangkrut di Amerika Serikat. Sekarang, Amerika Serikat memberikan kewenangan yang lebih besar kepada The Fed (bank sentral AS). Presiden Obama klebih tegas telah memperluas ruang lingkup pengawasan untuk The Fed karea meyakini bahwa unsure pengawasan terhadap microprudential juga begitu penting.

Inggris pun yang telah memisahkan pengawasan bank dari bank sentralnya tidak luput dari krisis dan mengalami kegagalan bank dalam krisis keuangan global saat ini. Pada kasus Northern Rock di Inggris, Bank of England (BoE) sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan memberikan lender of resort tidak dapat mengakses informasi individual bank secara cepat. Pada akhirnya Inggris melalu parlemennya, memberikan kewenangan kembali kepada BoE untuk mengawasi lembaga perbankan dan jasa keuangan. Padahal sebelumnya Financial Service Authority (FSA) diberi kekuasaan untuk mengawasi perbankan dan jasa keuangan lainnya, seperti OJK di Indonesia.

Bahkan Jerman yang menjadi konsultan pemerintah dalam pembentukan BI yang independen, pun sudah berbalik arah kembali pada pengawasan bank ke bank sentral.

Korea Selatan sempat memiliki OJK, namun menurut Prof.Erman Radjagukguk dalam perkuliahan beliau pada perkuliahan Hukum Investasi dan Pasar Modal dalam program Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, Korea Selatan dianggap tidak berhasil menerapkan OJK, karena juga terjadi perdebatan sengit di sana, sehingga OJK berjalan kurang mulus.

oo00oo