Tampilkan postingan dengan label Hukum Bisnis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Bisnis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Juni 2010

Hukum Bekerja di Bank

HUKUM BEKERJA DI BANK Prof. Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Saya tamatan sebuah akademi perdagangan yang telah berusaha
mencari pekerjaan tetapi tidak mendapatkannya kecuali di
salah satu bank. Padahal, saya tahu bahwa bank melakukan
praktek riba. Saya juga tahu bahwa agama melaknat penulis
riba. Bagaimanakah sikap saya terhadap tawaran pekerjaan
ini?

JAWABAN

Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi
riba dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat
menghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, bahkan
dapat mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat.

Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur'an dan As Sunnah
serta telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Anda
membaca firman Allah Ta'ala berikut ini:

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Al
Baqarah: 276)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketabuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu ..." (Al Baqarah: 278-279)

Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda

"Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu
negeri, berarti mereka telah menyediakan diri
mereka untuk disiksa oleh Allah." (HR Hakim)1

Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya agar
memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal ia
harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak
terlibat dalam kemaksiatan itu. Karena itu Islam
mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan
permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantu
kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik
pertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materiil,
perbuatan ataupun perkataan. Dalam sebuah hadits hasan,
Rasulullah saw. bersabda mengenai kejahatan pembunuhan:

"Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu
dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan
membenamkan mereka dalam neraka." (HR Tirmidzi)

Sedangkan tentang khamar beliau saw. bersabda:

"Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya,
pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya,
dan yang dibawakannya." (HR Abu Daud dan Ibnu
Majah)

Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap:

"Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang
menerima suap, dan yang menjadi perantaranya." (HR
Ibnu Hibban dan Hakim)

Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

"Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi
makan dengan hasil riba, dan dua orangyang menjadi
saksinya." Dan beliau bersabda: "Mereka itu sama."
(HR Muslim)

Ibnu Mas'ud meriwayatkan:

"Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba
dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang
saksinya, dan penulisnya." (HR Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, dan Tirmidzi)2

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

"Orang yang makan riba, orang yang memben makan
dengan riba, dan dua orang saksinya --jika mereka
mengetahui hal itu-- maka mereka itu dilaknat
lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat."
(HR Nasa'i)

Hadits-hadits sahih yang sharih itulah yang menyiksa hati
orang-orang Islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah
(persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas dari
tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa
masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank
atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah
menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan
yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana
umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:

"Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang
pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan
akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya
maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan
Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya
dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan
yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi
yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat
diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam.
Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap
dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan
perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan
bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan
perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap
permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam
ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam
hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama,
apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka
lebar.

Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini
hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap
kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat
untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri,
sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh
perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang
tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham
sosialis.

Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di
bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh
orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada
akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.

Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak
semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan
tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti
kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkan
sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena
itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan
tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata
perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang
diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini
hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah
menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta
umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:

"Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia
niatkan." (HR Bukhari)

Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan
kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah
mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan
saudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai
sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman
Allah SWT:

"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173}

Catatan kaki:
1 Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih isnadnya.
2 Tirmidzi mensahihkannya. Hadits ini diriwayatkan pula
oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan mereka mensahihkannya.

---------
HUKUM BEKERJA DI BANK-BANK RIBAWI DAN TRANSAKSI YANG ADA DIDALAMNYA
>
> Oleh
> Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
>
> Pertanyaan.
> Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bekerja di
> bank-bank ribawi dan transaksi yang ada di dalamnya ?
>
> Jawaban.
> Bekerja di sana diharamkan karena dua alasan.
>
> Pertama : Membantu melakukan riba
>
> Bila demikian, maka ia termasuk ke dalam laknat yang telah diarahkan
> kepada individunya langsung sebagaimana telah terdapat hadits yang
> shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau :
> "Melaknat pemakan, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua
> saksinya."
>
> Beliau mengatakan "Mereka itu sama saja."
>
> Kedua : Bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan
> mengakuinya.
>
> Oleh karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang
> bertransaksi dengan. Sedangkan menyimpan uang disana karena suatu
> kebutuhan, maka tidak apa-apa bila kita belum mendapatkan tempat
> yang aman selain bank-bank seperti itu. Hal itu tidak apa-apa dengan
> satu syarat, yaitu seseorang tidak mengambil darinya sebab
> mengambilnya adalah haram hukumnya.
>
> [Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, Juz II]
>
> [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah
> Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa
> Terkini-2, hal 26-27 Darul Haq]

Senin, 17 Mei 2010

Masih Perlukah Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia?

Masih Perlukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia?

Berikut jawaban saya atas pertanyaan yang disampaikan Dr.Yunus Hussein, S.H. LL.M. dalam perkuliahan hukum perbankan, program magister hukum ekonomi:

a.Bagaimana pendapat Saudara tentang Pembinaan dan Pengawasan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia (“BI”) selama ini?

Tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugas utama dari BI selaku Bank Sentral adalah:

Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam kaitannya dengan tugas ini, Bank Indonesia juga memiliki tugas yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia, yaitu mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia dengan mencetak uang, mengedarkan serta mengatur jumlah uang beredar. Di sini Bank Indonesia memiliki hak tunggal dalam mengeluarkan uang kertas dan uang logam. Bank Indonesia harus tetap menjaga uang selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, dalam komposisi pecahan yang sesuai, pada waktu yang tepat, dan dalam kondisi yang baik sesuai dengan kebutuhan;

Ketiga Bank Indonesia juga berfungsi mengembangkan sistem perbankan dan sistem perkreditan yang sehat dengan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan.
Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai:

1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana

2. Pelaksana kebijakan moneter;

3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat,baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan:
1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);

2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan

3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.

Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.

3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas pemeriksaan.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.

Selama ini, fungsi pembinaan dan pengawasan BI secara konsep sebenarnya berjalan cukup baik. Namun, kasus Bank Century terakhir ini, mencuatkan kembali issue lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh BI. Krisna Wijaya dalam KOLOM berjudul Revitalisasi Pengawasan Perbankan menekankan bahwa mungkin saja ada oknum pengawas yang melakukan error omission ataupun error commission. Error omission adalah timbulnya kerugian bank yang diakibatkan adanya unsur kesengajaan manusia untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh BI atau instansi terkait yang mengikat pada tata kelola perbankan. Sementara, error commission adalah timbulnya kerugian bank akibat prosedur bank yang belum sempurna atau pihak bank belum memiliki prosedur sehingga tidak ada larangan atau anjuran yang tegas bagi pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Kesalahan person/orang/Sumber Daya Manusia (“SDM”) harus dimaklumi. Siapa pun sulit untuk mengetahui niat jahat seseorang. Tidak ada alat yang bisa mendeteksi apakah seseorang itu memiliki niat yang baik atau jahat. Selain diperlukan sistem pengawasan yang tepat dan dinamis, diperlukan juga dukungan SDM yang berintegritas tinggi.

Kelemahan pengawasan bank oleh BI dapat terjadi karena simpul-simpul kerawanan dalam pengawasan bank. Pertama, pemilihan Dewan Gubernur BI melalui proses politik di DPR adalah simpul kerawanan utama karena seringkali menimbulkan kontroversi dan rawan berbagai kepentingan politik. Kedua, luasnya cakupan pengawasan bank oleh BI sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam jawaban saya ini, dapat menimbulkan kerawanan manakala proses pengambilan keputusan oleh Dewan Gubernur BI, sampai dengan keputusan diambil tidak mampu secara kokoh membentengi diri dari ancaman atau intervensi berbagai kepentingan dan peluang. Ketiga, pengendalian intern yang kredibel dan konsisten terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan bank juga dapat menjadi rawan manakala fungsi ini tidak bekerja secara benar. Hal ini mengingat fungsinya yang mudah diintervensi dan dilumpuhkan karena merupakan subsistem dari kepemimpinan tertinggi. Keempat, budaya kerja merupakan kerawanan kultur yang dapat mewarnai dan melemahkan fungsi pengendalian intern dalam pengawasan bank. Misalnya budaya kerja yang senang dijilat, dikasih “amplop”, menerima suap, malas memeriksa secara detail, dan lain sebagainya.

Kejatuhan dan kegagalan bank kerap terjadi di berbagai belahan dunia, secanggih apapun sistem pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pengawas. Amerika Serikat dan Inggris adalah contoh dua Negara yang sudah sangat canggih dan berlapis system pengawasan perbankannya, namun tetap “kecolongan” dengan praktik-praktik perbankan yang merugikan. Oleh karena itu, kuncinya adalah, siapapun pengawasnya, secanggih atau sehebat apapun lembaga pengawas, keberhasilan pengawasan tergantung dari berbagai pihak yang terlibat.

b.Bagaimana pendapat Saudara tentang Pengawasan dan Pembinaan Bank disatukan di bawah Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) bersama-sama dengan Pengawasan Penyedia Jasa Keuangan lainnya?

Pembentukan OJK adalah amanat dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (“UU BI”). Sehingga untuk menghindari adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang, maka OJK sebaiknya tetap dibentuk. Oleh karena itu, saya lebih sepakat dengan pendapat sebagaimana dikatakan oleh Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), menurut beliau, perlu adanya ide “OJK mini” yang hanya mengawasi perbankan semata-mata. Setelah nanti berjalan beberapa lama, perluasan pengawasan perbankan dan jasa keuangan lainnya bisa mulai melekat secara bertahap. Pendapat Sigit Pramono ini adalah jalan tengah untuk menjembatani pendapat yang pro OJK dan kontra OJK, khususnya dalam hal pengawasan perbankan, apakah masih berada di tangan BI atau berpindah ke tangan OJK. Skenario OJK mini ini lebih mudah dan tidak menimbulkan resiko transisi yang berbahaya. Pertama, organisasi dan SDM serta anggaran sudah tersedia. Kedua, tidak perlu melakukan amandemen UU BI. Ketiga, diperkirakan tidak menimbulkan komplikasi bagi pengawasan bank yang kini masih memegang porsi pasar keuangan sebesar 83%.

Toh apabila ingin dikaji lebih dalam, pembentukan OJK juga tidak menjamin adanya pengawasan yang lebih berkualitas. Sebab, sebagaimana saya katakan dalam jawaban a. tersebut sebelumnya, apapun sistem yang digunakan, jika pelaku-pelaku perbankan terkait pengawasan perbankan tidak becus, maka selama itu pula selalu ada celah bagi kecurangan/penyalahgunaan. OJK juga terbukti gagal di Inggris walaupun relatif sukses di Jepang. Jerman, yang sempat menjadi konsultan pemerintah dalam pembentukan BI yang independen telah kembali berbalik arah ke pengawasan bank oleh bank sentral.

Memang, menurut dokumen Biro Riset infobank, alasan-alasan pemisahan pengawasan bank dari BI dan menggabungkannya ke dalam OJK, antara lain untuk menghindari konflik kepentingan antara kebijakan moneter dan kebijakan pengawasan konglomerasi sektor jasa keuangan di Indonesia di masa depan, dalam hal ini terdapatnya suatu integrasi produk perbankan dan sektor jasa keuangan non bank maupun tindakan yang disebut sebagai regulatory arbitrage. Namun, BI tetap memiliki alasan mengapa mereka masih berharap pengawasan bank masih berada di ketiak BI. Pertama adalah agar akses informasi dapat terjaga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi global terkini. Kedua, struktur yang tepat untuk meminimalisasi permasalahan, dengan tetap memperhatikan perkembangan situasi perbankan dan keuangan baik nasional maupun global, adalah struktur yang menempatkan kegiatan operasional pengawasan bank tetap berada di bank sentral, dalam hal ini, BI.

Menurut infobank, jika OJK tetap akan dibentuk, BI mengusulkan agar sistem pengawasan lembaga keuangan ini dapat dituangkan dalam suatu model di mana deputi gubernur BI bidang pengawasan ex-officio akan menjadi anggota dewan komisioner OJK sekaligus sebagai chief supervisory officer otoritas pengawasan bank. Hal ini berarti, sharing informasi dan koordinasi antara OJK dan BI akan berjalan baik karena chief supervisory officer otoritas pengawasan bank dijabat oleh salah satu deputi gubernur BI. Model pengawasan bank yang diberikan kepada lembaga pengawas yang masih menginduk ke BI namun dengan China Wall yang ketat bisa membatasi conflict of interest karena komisionernya berasal dari BI dan Departemen Keuangan. Walaupun model seperti ini, menurut infobank, hanya kompromi politik agar tidak perlu mengamandemen UU No. 3 Tahun 2004 Tentang BI. Model ini sebenarnya untuk menghindari komplikasi dan prospek transisi yang murah, tidak hanya menyangkut biaya tapi juga dampaknya, karena koordinasi dan informasi data masih bisa didapatkan.

Jadi, saya masih sepakat dengan usul Sigit Pramono yang berpendapat perlunya ide OJK mini, yang semata-mata melakukan pengawasan dalam bidang perbankan, namun secara bertahap OJK ini nantinya akan melekat pada dirinya fungsi pengawasan jasa keuangan lainnya, tentu setelah juga melalui proses evaluasi.

c.Bagaimana saran Saudara tentang RUU OJK?

RUU OJK lahir dengan argumentasi untuk memenuhi keinginan kuat adanya otoritas jasa keuangan yang mandiri dan independen.

Jika dimungkinkan adanya perubahan, maka berkaca dari pengalaman Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris atau bahkan Jerman, maka sebaiknya ide OJK ini tidak perlu diteruskan. Sebab kenyataannya, Negara-negara maju tersebut justru kembali pada pemberian kewenangan pengawasan perbankan oleh bank sentral. Pengalaman dan argumentasi mereka lah yang perlu kita pelajari. Hal-hal prinsip apakah yang menyebabkan mereka pada akhirnya kembali pada pemberian kewenangan pengawasan perbankan oleh bank sentral.

Namun, seandainya kita tetap kukuh untuk melaksanakan amanat UU BI, sebaiknya ketentuan pasal yang menyatakan bahwa dewan komisioner sebagai pemimpin OJK yang namanya diusulkan Presiden kepada DPR, pasal ini dihapus saja. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Viraguna Bagoes Oka dalam KOLOM infobank, salah satu, bahkan simpul kerawanan yang utama adalah pintu celah di mana anggota DPR diberikan kesempatan untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon dewan gubernur BI. Maka dalam konteks OJK, hal tersebut juga bisa berlaku. Hal ini membuka kemungkinan intervensi politik. Mata publik tidak bisa lagi dibohongi, apalagi sekarang sedang terkuak skandal pelolosan salah satu dewan gubernur BI oleh fraksi tertentu di DPR.

Sebagai gantinya, dewan komisioner sebagai pimpinan OJK, namanya diusulkan oleh Presiden memperhatikan pertimbangan atau saran dari BI, Departemen Keuangan, dan DPR. Tanpa perlu lagi persetujuan DPR. DPR hanya sebatas dimintai saran. Persetujuan menjadi wewenang penuh Presiden dengan tetap memperhatikan saran dari BI, Depkeu, dan DPR.

Usul dari Korea Selatan juga perlu dipertimbangkan oleh Negara kita. Ketika kepala delegasi Korea Selatan yang juga mantan wakil perdana menteri serta menteri strategi dan keuangan Korea Selatan, Okyu Kwon berkunjung ke Jakarta bulan Januari 2010 lalu. Keberadaan Okyu di Indonesia dimaksudkan untuk melaporkan hasil penelitian yang diramu dalam program pemberian rekomendasi kebijakan terhadap negara berkembang atau KSP (Knowledge Sharing Program) yang dikembangkan Departemen Strategis dan Keuangan (MOSF) Korea Selatan. Tidak semua negara mendapatkan program ini, hanya negara-negara yang dianggap memiliki potensi untuk menjadi mitra strategis yang diberi program lengkap konsultasi hingga survei keuangan serta ekonomi ini.

Okyu menyarankan Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan terpisah dari Bank Indonesia dan juga pemerintah. Untuk itu, baik pemerintah maupun BI mesti dengan rela melepas sebagian kewenangannya. BI harus melepaskan pengawasannya terhadap perbankan, sedangkan Depkeu harus melepaskan pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Dengan begitu, menurut Okyu, OJK yang didirikan akan berdiri independen.


d.Di Negara mana sajakah ada OJK yang mengawasi seluruh PJK?

Di Inggris, Jepang, Australia. Korea Selatan sempat memiliki OJK, namun menurut Prof.Erman Radjagukguk dalam perkuliahan beliau pada perkuliahan Hukum Investasi dan Pasar Modal dalam program Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, Korea Selatan dianggap tidak berhasil menerapkan OJK, karena juga terjadi perdebatan sengit di sana, sehingga OJK berjalan kurang mulus.
Amerika Serikat memperkuat kewenangan The Fed (bank sentral AS) dalam hal pengawasan perbankan dan jasa keuangan lainnya;
Inggris memiliki Financial Service Authority;
Jepang memiliki Japan Financial Service Authority;
Australia memiliki Australian Prudential Regulatory Authority (APRA).


e.Bagaimanakah pengalaman Negara-negara tersebut dalam menerapkan OJK, berhasilkah atau kurang berhasil?

Kurang berhasil.

Seperti di Amerika Serikat, dengan pengawasan yang berlapis dan pelopor pengawasan berbasis resiko bisa terpuruk dalam krisis ekonomi, yang bermula dari macetnya subprime mortgage. Hal ini mencerminkan tetap adanya sisi kelemahan suatu sistem pengawasan, yang dalam hal ini bersumber dari keserakahan pelaku pasarnya. Krisis itu akhirnya membuat AS terpuruk dalam resei serta jatuhnya bank dan lembaga keuangan papan atas yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dalam kasus Amerika Serikat ini, pemicu krisis disebabkan adanya kelemahan pengawasan di bidang nonbank (shadow banking), yang membiarkan akumulasi resiko yang berlebihan pada lembaga-lembaga tersebut. Tercatat sekurangnya 40 bank bangkrut di Amerika Serikat. Sekarang, Amerika Serikat memberikan kewenangan yang lebih besar kepada The Fed (bank sentral AS). Presiden Obama klebih tegas telah memperluas ruang lingkup pengawasan untuk The Fed karea meyakini bahwa unsure pengawasan terhadap microprudential juga begitu penting.

Inggris pun yang telah memisahkan pengawasan bank dari bank sentralnya tidak luput dari krisis dan mengalami kegagalan bank dalam krisis keuangan global saat ini. Pada kasus Northern Rock di Inggris, Bank of England (BoE) sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan memberikan lender of resort tidak dapat mengakses informasi individual bank secara cepat. Pada akhirnya Inggris melalu parlemennya, memberikan kewenangan kembali kepada BoE untuk mengawasi lembaga perbankan dan jasa keuangan. Padahal sebelumnya Financial Service Authority (FSA) diberi kekuasaan untuk mengawasi perbankan dan jasa keuangan lainnya, seperti OJK di Indonesia.

Bahkan Jerman yang menjadi konsultan pemerintah dalam pembentukan BI yang independen, pun sudah berbalik arah kembali pada pengawasan bank ke bank sentral.

Korea Selatan sempat memiliki OJK, namun menurut Prof.Erman Radjagukguk dalam perkuliahan beliau pada perkuliahan Hukum Investasi dan Pasar Modal dalam program Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, Korea Selatan dianggap tidak berhasil menerapkan OJK, karena juga terjadi perdebatan sengit di sana, sehingga OJK berjalan kurang mulus.

oo00oo

Senin, 25 Januari 2010

Kritik Ilmiah atas UU PT & Konsekuensi Hukum PT yang Tidak Menyesuaikan Anggaran Dasar serta Kewenangan LPS dalam Pembubaran PT

Tulisan ini merupakan BAGIAN PERTAMA ringkasan dari tiga tulisan yang ditulis oleh tiga penulis yang berbeda. Diambil dari JURNAL HUKUM BISNIS Volume 28-No. 3-Tahun 2009, tanpa mengubah substansi tulisan.

1. Tulisan oleh :DR. Habib Adjie, S.H., M.H., CN.
Judul :Penyesuaian Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Dalam Teori dan Praktik
Penulis adalah seorang Notaris dan PPAT di Kota Surabaya. Selain sebagai akademisi, beliau juga adalah seorang praktisi yang banyak bersinggungan dengan kenyataan pelaksanaan hukum di lapangan sehari-hari. Tulisan beliau ini, merupakan kritik ilmiah atas sebagian pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang menurut beliau bermasalah.


2. Tulisan oleh :DR. Jonker Sihombing, S.E., M.H., MA.
Judul :Implikasi dan Konsekuensi Hukum Atas Perseroan Terbatas yang Tidak
Menyesuaikan Anggaran Dasarnya Sesuai UU No. 40 Tahun 2007
Penulis mengawali dengan gambaran umum UUPT, tinjauan teoritis tentang PT, seluk beluk penyesuaian anggaran dasar (“AD”), kemudian dilanjutkan dengan konsekuensi dan implikasi hukum yang timbul akibat keterlambatan/kealpaan penyesuaian AD, dan ditutup dengan seputar permasalahan hukum PT yang terlambat menyesuaikan AD dan kemudian jatuh pailit.


3. Tulisan oleh :DR. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M.
Judul :Analisis Hukum: Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Pembubaran dan
Likuidasi Perseroan Terbatas
Penulis mengawali tulisannya dengan Pendahuluan yang berisi latar belakang, alasan, dan peran penting Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”). Kemudian dilanjutkan dengan Fungsi dan Tugas LPS, termasuk namun tidak terbatas pada prosedur Penanganan Bank Gagal. Di bagian selanjutnya, masalah-masalah apa saja yang dihadap LPS dalam penanganan Bank Gagal, diakhiri dengan Penutup.


Berikut ringkasan tulisan mereka.

Tulisan oleh : DR. Habib Adjie, S.H., M.H., CN.
Judul : Penyesuaian Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Teori dan Praktik

Persoalan-persoalan dalam UUPT antara lain:
1. Bahwa Pasal 9 ayat (3) UUPT menyatakan: Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris.
Kuasa dari para pendiri kepada Notaris sebenarnya tidak diperlukan, karena sudah menjadi kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya selaku pejabat umum yang melaksanakan sebagian tugas Negara khususnya di bidang hukum keperdataan, mengajukan pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas (“PT”).
Dengan demikian, keberadaan Pasal 9 ayat (3) UUPT ini sangat tidak tepat.

2. Pasal 10 ayat (1) UUPT berbunyi: Permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung.
Notaris mengajukan permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini a quo secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan validilitas-legalitasnya. Hal ini dicermati dalam undang-undang a quo bahwa baik di dalam konsiderans maupun di bagian penjelasan, tidak ditemui keterangan tentang legal rationing atau ratio legisnya pasal tersebut.

3. Pasal 10 ayat (9) UUPT berbunyi: Dalam hal permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu tersebut dan perseroan yang belum memperoleh status badan hukum bubar karena hukum dan pemberesannya dilakukan oleh pendiri.
Jika sebuah Akta Notaris telah memenuhi syarat lahir, formal, dan materil, maka tidak ada Akta Notaris yang serta merta batal karena lewat waktu. Ada tata cara agar Akta Notaris batal, yaitu telah dilanggarnya syarat lahir, formal, dan materil, dan ini harus melalui pembuktian ketat berdasarkan putusan pengadilan, karena pada dasarnya Akta Notaris harus memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkannya. Dengan demikian ketentuan batal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan dan telah melanggar ketentuan syarat lahir, formal dan materil Akta Notaris.

4. Pasal 10 ayat (10) UUPT yang menunjuk kepada Pasal 10 ayat (1) UUPT.
Akta Notaris akan tetap berlaku dan mengikat sepanjang selama tidak dibatalkan oleh para pihak atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, oleh karena itu Akta Notaris mempunyai umur yuridis yang akan disimpan oleh Notaris sendiri atau pemegang protokolnya selama eksistensi lembaga Notariat ada. Suatu hal yang sangat di luar batas dan tidak sesuai dengan makna Akta Notaris, jika Akta Notaris yang dibuat telah sesuai tata cara pembuatan Akta Notaris, dinilai menjadi tidak ada artinya, karena suatu alasan yang tidak jelas berdasarkan hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut di atas.

5. Pasal 21 ayat (5) UUPT berbunyi: Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. (RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham).
Substansi pasal tersebut sangat merugikan, jika sebuah PT yang telah berstatus badan hukum, anggaran dasarnya tidak dinyatakan dengan Akta Notaris. Dalam kaitan ini pasal tersebut tidak memberikan jalan keluar apapun. Dikhawatirkan jika pasal tersebut diterapkan, maka akan menghambat operasional suatu perseoran terbatas.

6. Pasal 21 ayat (6) UUPT berbunyi: Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Substansi pasal ini telah memasung hak perdata dari subyek hukum berupa perseroan terbatas. Hukum telah menentukan bahwa perseroan terbatas yang telah berbadan hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagaimana subyek hukum lainnya yaitu manusia. Oleh karena itu, adanya “larangan” dalam pasal ini merupakan pemasungan hukum terhadap eksistensi perseoran terbatas. Apalagi dalam penjelasan pasal, tidak ada alasan mengapa harus ada “larangan” itu. “Larangan” yang dimaksud adalah larangan menyatakan perubahan anggaran dasar dengan Akta Notaris setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari.
Selain itu, pasal ini juga merupakan larangan kepada Notaris untuk tidak membuat Akta seperti itu. Oleh karena itu, keberadaan pasal tersebut tidak perlu dipertahankan.

7. Pasal 21 ayat (7) UUPT berbunyi: Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar.
Substansi pasal ini menimbulkan pertanyaan, apa dasar hukumnya permohonan persetujuan tersebut harus diajukan paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal Akta Notaris yang memuat perubahan AD tersebut. Memang jangka waktu sangat diperlukan, namun jangan dibebankan kepada jangka waktu, sehingga menjadi beban Notaris dan perseroan terbatas. Seharusnya, jangka waktu tersebut harus dibebankan kepada Menteri yang akan memberikan pengesahan, dalam arti dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima, maka Menteri wajib memberikan pengesahan, jika tidak memberikan pengesahan dalam jangka waktu tersebut, maka Menteri dianggap telah memberikan pengesahan. Bahwa dalam tata kelola pemerintahan yang baik, jangka waktu tersebut harus menjadi beban dan kewajiban pemerintah sebagai pelayan masyarakat.

8. Pasal 21 ayat (8) UUPT berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri.
Sama seperti Pasal 21 ayat (7) UUPT tersebut di atas, jangka waktu pengesahan, dalam berapa lama dapat dilakukan merupakan beban dan kewajiban pemerintah.

9. Pasal 21 ayat (9) UUPT berbunyi: Setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (7) permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri.
Suatu hal yang sangat tidak tepat atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku, jika suatu Akta lewat batas waktu (expired), menjadi tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri untuk disetujui. Apa dasar dan alasannya, Menteri tidak mau menerima Akta seperti itu? Bukankah pemerintah (Menteri) telah menempatkan dirinya sendiri sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan persetujuan tersebut? Seharusnya batasan waktu seperti itu tidak perlu ada. Jika hal itu terjadi, karena alasan tertentu, apakah harus dilakukan RUPS lagi, dan bagaimana nasib dari RUPS yang telah lewat itu? Jika pasal ini masih tetap dipertahankan, dan di sisi yang lain tidak memberikan jalan keluar sama sekali, maka yang akan terjadi adalah kemacetan hukum untuk permohonan persetujuan seperti itu, dan pada akhirnya masyarakat dan Notaris akan sangat dirugikan.

10. Pasal 157 menegaskan:
(1) Anggaran dasar dari Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri dan didaftarkan dalam daftar perusahaan sebelum undang-undang ini berlaku, tetap berlaku jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
(2) Anggaran dasar dari Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau angaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan undang-undang ini.
(3) Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya undang-undang ini wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini.
(4) Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan negeri atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Memberikan kewenangan kepada kejaksaan ataupun kepada pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu tindakan hukum tersebut di atas untuk membubarkan perseroan terbatas tersebut, sebenarnya tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan hukum yang jelas, bukan hanya semata-mata AD nya belum menyesuaikan atau tidak menyesuaikan dengan UUPT yang baru.
Substansi Pasal 157 UUPT dapat ditafsirkan bahwa, meskipun sampai saat ini masih banyak perseroan terbatas belum menyesuaikan anggaran dasarnya, walau telah melampaui satu tahun sejak berlakunya UUPT yaitu tanggal 16 Agustus 2008, tidak serta merta PT tersebut bubar demi hukum, namun dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, selama tidak ada yang mengajukan permohonan untuk membubarkan perseroan tersebut, maka PT tersebut tetap diakui sebagai badan hukum.

11. Status Perseroan sebagai Badan Hukum

Pada dasarnya ada empat cara terbentuknya badan hukum, yaitu :

a. Sistem Konsesi atau Sistem Pengesahan
Menurut sistem ini, suatu lembaga akan memperoleh kedudukan atau status sebagai badan hukum karena disahkan oleh instansi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan tertentu. Misalnya, PT memperoleh status sebagai badan hukum karena mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

b. Ditentukan oleh Undang-undang.
Menurut sistem ini, undang-undang telah menentukan sendiri bahwa lembaga yang tersebut dalam undang-undang bersangkutan merupakan badan hukum. Contohnya Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, disebutkan bahwa perhimpunan penghuni rumah susun yang didirikan menurut ketentuan undang-undang ini diberi kedudukan sebagai badan hukum.

c. Sistem Campuran
Menurut sistem ini, status badan hukum diperoleh karena ditentukan oleh undang-undang itu sendiri dan setelah ada pengesahan dari instansi yang berwenang. Contohnya Koperasi, berdasarkan Pasal 9 UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, ditegaskan bahwa Koperasi memperoleh statsus badan hukum setelah Akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah (dalam hal ini departemen koperasi atau menteri yang membidangi urusan koperasi).

d. Melalui Yurisprudensi
Status badan hukum diperoleh melalui yurisprudensi, contohnya Yayasan menurut Putusan Hogerchtshof 7884 (Mahkamah Agung Hindia-Belanda)

Berdasarkan uraian di atas, status Badan Hukum PT dalam UUPT, menganut sistem campuran. Lihat Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa PT adalah Badan Hukum dan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan pada Pasal 7 ayat (4).

Penulis (Habib Adjie) berpendapat bahwa status badan hukum untuk perseroan ataupun untuk yang lainnya akan diperoleh berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM ataupun dari otoritas pemerintah lainnya tidak perlu dilakukan, dengan alasan, antara lain:

1. Tidak ada pertanggungjawaban dari pemerintah, jika PT yang telah memperoleh status badan hukum, ternyata PT tersebut bermasalah dalam operasionalnya, karena pertanggungjawaban PT akan dikembalikan kepada para pemegang saham, direksi, dan komisaris PT yang bersangkutan.

2. Saat ini institusi yang akan memberikan status badan hukum, ada 2(dua), yaitu Menteri Hukum dan HAM, dan Dinas Koperasi (kota/kabupaten/propinsi) untuk Koperasi.

Dengan demikian, harus dikembangkan suatu teori baru tentang perolehan status badan hukum untuk PT ataupun yang lainnya. Yaitu, status badan hukum tersebut akan diperoleh setelah Akta Pendirian PT telah selesai dilakukan di hadapan Notaris, maka pada saat itu juga PT telah memperoleh kedudukan sebagai badan hukum, sedangkan kepada Menteri Hukum dan HAM cukup Notaris yang bersangkutan untuk melaporkannya secara elektronik dengan telah didirikannya PT di hadapan Notaris yang bersangkutan. Dalam hal ini aturan hukum yang bersangkutan cukup menegaskan bahwa lembaga tertentu akan berkedudukan sebagai badan hukum setelah Aktanya dibuat di hadapan Notaris.

-------------------------------------------
Nantikan BAGIAN KEDUA tulisan ini yang akan memuat ringkasan tulisan:

2. Tulisan oleh :DR. Jonker Sihombing, S.E., M.H., MA.
Judul :Implikasi dan Konsekuensi Hukum Atas Perseroan Terbatas yang Tidak
Menyesuaikan Anggaran Dasarnya Sesuai UU No. 40 Tahun 2007
Penulis mengawali dengan gambaran umum UUPT, tinjauan teoritis tentang PT, seluk beluk penyesuaian anggaran dasar (“AD”), kemudian dilanjutkan dengan konsekuensi dan implikasi hukum yang timbul akibat keterlambatan/kealpaan penyesuaian AD, dan ditutup dengan seputar permasalahan hukum PT yang terlambat menyesuaikan AD dan kemudian jatuh pailit.


3. Tulisan oleh :DR. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M.
Judul :Analisis Hukum: Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Pembubaran dan
Likuidasi Perseroan Terbatas
Penulis mengawali tulisannya dengan Pendahuluan yang berisi latar belakang, alasan, dan peran penting Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”). Kemudian dilanjutkan dengan Fungsi dan Tugas LPS, termasuk namun tidak terbatas pada prosedur Penanganan Bank Gagal. Di bagian selanjutnya, masalah-masalah apa saja yang dihadap LPS dalam penanganan Bank Gagal, diakhiri dengan Penutup.

Semoga Bermanfaat. :)