Tulisan ini merupakan BAGIAN PERTAMA ringkasan dari tiga tulisan yang ditulis oleh tiga penulis yang berbeda. Diambil dari JURNAL HUKUM BISNIS Volume 28-No. 3-Tahun 2009, tanpa mengubah substansi tulisan.
1. Tulisan oleh :DR. Habib Adjie, S.H., M.H., CN.
Judul :Penyesuaian Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Dalam Teori dan Praktik
Penulis adalah seorang Notaris dan PPAT di Kota Surabaya. Selain sebagai akademisi, beliau juga adalah seorang praktisi yang banyak bersinggungan dengan kenyataan pelaksanaan hukum di lapangan sehari-hari. Tulisan beliau ini, merupakan kritik ilmiah atas sebagian pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang menurut beliau bermasalah.
2. Tulisan oleh :DR. Jonker Sihombing, S.E., M.H., MA.
Judul :Implikasi dan Konsekuensi Hukum Atas Perseroan Terbatas yang Tidak
Menyesuaikan Anggaran Dasarnya Sesuai UU No. 40 Tahun 2007
Penulis mengawali dengan gambaran umum UUPT, tinjauan teoritis tentang PT, seluk beluk penyesuaian anggaran dasar (“AD”), kemudian dilanjutkan dengan konsekuensi dan implikasi hukum yang timbul akibat keterlambatan/kealpaan penyesuaian AD, dan ditutup dengan seputar permasalahan hukum PT yang terlambat menyesuaikan AD dan kemudian jatuh pailit.
3. Tulisan oleh :DR. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M.
Judul :Analisis Hukum: Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Pembubaran dan
Likuidasi Perseroan Terbatas
Penulis mengawali tulisannya dengan Pendahuluan yang berisi latar belakang, alasan, dan peran penting Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”). Kemudian dilanjutkan dengan Fungsi dan Tugas LPS, termasuk namun tidak terbatas pada prosedur Penanganan Bank Gagal. Di bagian selanjutnya, masalah-masalah apa saja yang dihadap LPS dalam penanganan Bank Gagal, diakhiri dengan Penutup.
Berikut ringkasan tulisan mereka.
Tulisan oleh : DR. Habib Adjie, S.H., M.H., CN.
Judul : Penyesuaian Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Teori dan Praktik
Persoalan-persoalan dalam UUPT antara lain:
1. Bahwa Pasal 9 ayat (3) UUPT menyatakan: Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris.
Kuasa dari para pendiri kepada Notaris sebenarnya tidak diperlukan, karena sudah menjadi kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya selaku pejabat umum yang melaksanakan sebagian tugas Negara khususnya di bidang hukum keperdataan, mengajukan pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas (“PT”).
Dengan demikian, keberadaan Pasal 9 ayat (3) UUPT ini sangat tidak tepat.
2. Pasal 10 ayat (1) UUPT berbunyi: Permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung.
Notaris mengajukan permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini a quo secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan validilitas-legalitasnya. Hal ini dicermati dalam undang-undang a quo bahwa baik di dalam konsiderans maupun di bagian penjelasan, tidak ditemui keterangan tentang legal rationing atau ratio legisnya pasal tersebut.
3. Pasal 10 ayat (9) UUPT berbunyi: Dalam hal permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu tersebut dan perseroan yang belum memperoleh status badan hukum bubar karena hukum dan pemberesannya dilakukan oleh pendiri.
Jika sebuah Akta Notaris telah memenuhi syarat lahir, formal, dan materil, maka tidak ada Akta Notaris yang serta merta batal karena lewat waktu. Ada tata cara agar Akta Notaris batal, yaitu telah dilanggarnya syarat lahir, formal, dan materil, dan ini harus melalui pembuktian ketat berdasarkan putusan pengadilan, karena pada dasarnya Akta Notaris harus memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkannya. Dengan demikian ketentuan batal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan dan telah melanggar ketentuan syarat lahir, formal dan materil Akta Notaris.
4. Pasal 10 ayat (10) UUPT yang menunjuk kepada Pasal 10 ayat (1) UUPT.
Akta Notaris akan tetap berlaku dan mengikat sepanjang selama tidak dibatalkan oleh para pihak atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, oleh karena itu Akta Notaris mempunyai umur yuridis yang akan disimpan oleh Notaris sendiri atau pemegang protokolnya selama eksistensi lembaga Notariat ada. Suatu hal yang sangat di luar batas dan tidak sesuai dengan makna Akta Notaris, jika Akta Notaris yang dibuat telah sesuai tata cara pembuatan Akta Notaris, dinilai menjadi tidak ada artinya, karena suatu alasan yang tidak jelas berdasarkan hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut di atas.
5. Pasal 21 ayat (5) UUPT berbunyi: Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. (RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham).
Substansi pasal tersebut sangat merugikan, jika sebuah PT yang telah berstatus badan hukum, anggaran dasarnya tidak dinyatakan dengan Akta Notaris. Dalam kaitan ini pasal tersebut tidak memberikan jalan keluar apapun. Dikhawatirkan jika pasal tersebut diterapkan, maka akan menghambat operasional suatu perseoran terbatas.
6. Pasal 21 ayat (6) UUPT berbunyi: Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Substansi pasal ini telah memasung hak perdata dari subyek hukum berupa perseroan terbatas. Hukum telah menentukan bahwa perseroan terbatas yang telah berbadan hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagaimana subyek hukum lainnya yaitu manusia. Oleh karena itu, adanya “larangan” dalam pasal ini merupakan pemasungan hukum terhadap eksistensi perseoran terbatas. Apalagi dalam penjelasan pasal, tidak ada alasan mengapa harus ada “larangan” itu. “Larangan” yang dimaksud adalah larangan menyatakan perubahan anggaran dasar dengan Akta Notaris setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari.
Selain itu, pasal ini juga merupakan larangan kepada Notaris untuk tidak membuat Akta seperti itu. Oleh karena itu, keberadaan pasal tersebut tidak perlu dipertahankan.
7. Pasal 21 ayat (7) UUPT berbunyi: Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar.
Substansi pasal ini menimbulkan pertanyaan, apa dasar hukumnya permohonan persetujuan tersebut harus diajukan paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal Akta Notaris yang memuat perubahan AD tersebut. Memang jangka waktu sangat diperlukan, namun jangan dibebankan kepada jangka waktu, sehingga menjadi beban Notaris dan perseroan terbatas. Seharusnya, jangka waktu tersebut harus dibebankan kepada Menteri yang akan memberikan pengesahan, dalam arti dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima, maka Menteri wajib memberikan pengesahan, jika tidak memberikan pengesahan dalam jangka waktu tersebut, maka Menteri dianggap telah memberikan pengesahan. Bahwa dalam tata kelola pemerintahan yang baik, jangka waktu tersebut harus menjadi beban dan kewajiban pemerintah sebagai pelayan masyarakat.
8. Pasal 21 ayat (8) UUPT berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri.
Sama seperti Pasal 21 ayat (7) UUPT tersebut di atas, jangka waktu pengesahan, dalam berapa lama dapat dilakukan merupakan beban dan kewajiban pemerintah.
9. Pasal 21 ayat (9) UUPT berbunyi: Setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (7) permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri.
Suatu hal yang sangat tidak tepat atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku, jika suatu Akta lewat batas waktu (expired), menjadi tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri untuk disetujui. Apa dasar dan alasannya, Menteri tidak mau menerima Akta seperti itu? Bukankah pemerintah (Menteri) telah menempatkan dirinya sendiri sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan persetujuan tersebut? Seharusnya batasan waktu seperti itu tidak perlu ada. Jika hal itu terjadi, karena alasan tertentu, apakah harus dilakukan RUPS lagi, dan bagaimana nasib dari RUPS yang telah lewat itu? Jika pasal ini masih tetap dipertahankan, dan di sisi yang lain tidak memberikan jalan keluar sama sekali, maka yang akan terjadi adalah kemacetan hukum untuk permohonan persetujuan seperti itu, dan pada akhirnya masyarakat dan Notaris akan sangat dirugikan.
10. Pasal 157 menegaskan:
(1) Anggaran dasar dari Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri dan didaftarkan dalam daftar perusahaan sebelum undang-undang ini berlaku, tetap berlaku jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
(2) Anggaran dasar dari Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau angaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan undang-undang ini.
(3) Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya undang-undang ini wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini.
(4) Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan negeri atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Memberikan kewenangan kepada kejaksaan ataupun kepada pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu tindakan hukum tersebut di atas untuk membubarkan perseroan terbatas tersebut, sebenarnya tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan hukum yang jelas, bukan hanya semata-mata AD nya belum menyesuaikan atau tidak menyesuaikan dengan UUPT yang baru.
Substansi Pasal 157 UUPT dapat ditafsirkan bahwa, meskipun sampai saat ini masih banyak perseroan terbatas belum menyesuaikan anggaran dasarnya, walau telah melampaui satu tahun sejak berlakunya UUPT yaitu tanggal 16 Agustus 2008, tidak serta merta PT tersebut bubar demi hukum, namun dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, selama tidak ada yang mengajukan permohonan untuk membubarkan perseroan tersebut, maka PT tersebut tetap diakui sebagai badan hukum.
11. Status Perseroan sebagai Badan Hukum
Pada dasarnya ada empat cara terbentuknya badan hukum, yaitu :
a. Sistem Konsesi atau Sistem Pengesahan
Menurut sistem ini, suatu lembaga akan memperoleh kedudukan atau status sebagai badan hukum karena disahkan oleh instansi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan tertentu. Misalnya, PT memperoleh status sebagai badan hukum karena mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
b. Ditentukan oleh Undang-undang.
Menurut sistem ini, undang-undang telah menentukan sendiri bahwa lembaga yang tersebut dalam undang-undang bersangkutan merupakan badan hukum. Contohnya Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, disebutkan bahwa perhimpunan penghuni rumah susun yang didirikan menurut ketentuan undang-undang ini diberi kedudukan sebagai badan hukum.
c. Sistem Campuran
Menurut sistem ini, status badan hukum diperoleh karena ditentukan oleh undang-undang itu sendiri dan setelah ada pengesahan dari instansi yang berwenang. Contohnya Koperasi, berdasarkan Pasal 9 UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, ditegaskan bahwa Koperasi memperoleh statsus badan hukum setelah Akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah (dalam hal ini departemen koperasi atau menteri yang membidangi urusan koperasi).
d. Melalui Yurisprudensi
Status badan hukum diperoleh melalui yurisprudensi, contohnya Yayasan menurut Putusan Hogerchtshof 7884 (Mahkamah Agung Hindia-Belanda)
Berdasarkan uraian di atas, status Badan Hukum PT dalam UUPT, menganut sistem campuran. Lihat Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa PT adalah Badan Hukum dan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan pada Pasal 7 ayat (4).
Penulis (Habib Adjie) berpendapat bahwa status badan hukum untuk perseroan ataupun untuk yang lainnya akan diperoleh berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM ataupun dari otoritas pemerintah lainnya tidak perlu dilakukan, dengan alasan, antara lain:
1. Tidak ada pertanggungjawaban dari pemerintah, jika PT yang telah memperoleh status badan hukum, ternyata PT tersebut bermasalah dalam operasionalnya, karena pertanggungjawaban PT akan dikembalikan kepada para pemegang saham, direksi, dan komisaris PT yang bersangkutan.
2. Saat ini institusi yang akan memberikan status badan hukum, ada 2(dua), yaitu Menteri Hukum dan HAM, dan Dinas Koperasi (kota/kabupaten/propinsi) untuk Koperasi.
Dengan demikian, harus dikembangkan suatu teori baru tentang perolehan status badan hukum untuk PT ataupun yang lainnya. Yaitu, status badan hukum tersebut akan diperoleh setelah Akta Pendirian PT telah selesai dilakukan di hadapan Notaris, maka pada saat itu juga PT telah memperoleh kedudukan sebagai badan hukum, sedangkan kepada Menteri Hukum dan HAM cukup Notaris yang bersangkutan untuk melaporkannya secara elektronik dengan telah didirikannya PT di hadapan Notaris yang bersangkutan. Dalam hal ini aturan hukum yang bersangkutan cukup menegaskan bahwa lembaga tertentu akan berkedudukan sebagai badan hukum setelah Aktanya dibuat di hadapan Notaris.
-------------------------------------------
Nantikan BAGIAN KEDUA tulisan ini yang akan memuat ringkasan tulisan:
2. Tulisan oleh :DR. Jonker Sihombing, S.E., M.H., MA.
Judul :Implikasi dan Konsekuensi Hukum Atas Perseroan Terbatas yang Tidak
Menyesuaikan Anggaran Dasarnya Sesuai UU No. 40 Tahun 2007
Penulis mengawali dengan gambaran umum UUPT, tinjauan teoritis tentang PT, seluk beluk penyesuaian anggaran dasar (“AD”), kemudian dilanjutkan dengan konsekuensi dan implikasi hukum yang timbul akibat keterlambatan/kealpaan penyesuaian AD, dan ditutup dengan seputar permasalahan hukum PT yang terlambat menyesuaikan AD dan kemudian jatuh pailit.
3. Tulisan oleh :DR. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M.
Judul :Analisis Hukum: Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Pembubaran dan
Likuidasi Perseroan Terbatas
Penulis mengawali tulisannya dengan Pendahuluan yang berisi latar belakang, alasan, dan peran penting Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”). Kemudian dilanjutkan dengan Fungsi dan Tugas LPS, termasuk namun tidak terbatas pada prosedur Penanganan Bank Gagal. Di bagian selanjutnya, masalah-masalah apa saja yang dihadap LPS dalam penanganan Bank Gagal, diakhiri dengan Penutup.
Semoga Bermanfaat. :)
1. Tulisan oleh :DR. Habib Adjie, S.H., M.H., CN.
Judul :Penyesuaian Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Dalam Teori dan Praktik
Penulis adalah seorang Notaris dan PPAT di Kota Surabaya. Selain sebagai akademisi, beliau juga adalah seorang praktisi yang banyak bersinggungan dengan kenyataan pelaksanaan hukum di lapangan sehari-hari. Tulisan beliau ini, merupakan kritik ilmiah atas sebagian pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang menurut beliau bermasalah.
2. Tulisan oleh :DR. Jonker Sihombing, S.E., M.H., MA.
Judul :Implikasi dan Konsekuensi Hukum Atas Perseroan Terbatas yang Tidak
Menyesuaikan Anggaran Dasarnya Sesuai UU No. 40 Tahun 2007
Penulis mengawali dengan gambaran umum UUPT, tinjauan teoritis tentang PT, seluk beluk penyesuaian anggaran dasar (“AD”), kemudian dilanjutkan dengan konsekuensi dan implikasi hukum yang timbul akibat keterlambatan/kealpaan penyesuaian AD, dan ditutup dengan seputar permasalahan hukum PT yang terlambat menyesuaikan AD dan kemudian jatuh pailit.
3. Tulisan oleh :DR. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M.
Judul :Analisis Hukum: Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Pembubaran dan
Likuidasi Perseroan Terbatas
Penulis mengawali tulisannya dengan Pendahuluan yang berisi latar belakang, alasan, dan peran penting Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”). Kemudian dilanjutkan dengan Fungsi dan Tugas LPS, termasuk namun tidak terbatas pada prosedur Penanganan Bank Gagal. Di bagian selanjutnya, masalah-masalah apa saja yang dihadap LPS dalam penanganan Bank Gagal, diakhiri dengan Penutup.
Berikut ringkasan tulisan mereka.
Tulisan oleh : DR. Habib Adjie, S.H., M.H., CN.
Judul : Penyesuaian Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Teori dan Praktik
Persoalan-persoalan dalam UUPT antara lain:
1. Bahwa Pasal 9 ayat (3) UUPT menyatakan: Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris.
Kuasa dari para pendiri kepada Notaris sebenarnya tidak diperlukan, karena sudah menjadi kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya selaku pejabat umum yang melaksanakan sebagian tugas Negara khususnya di bidang hukum keperdataan, mengajukan pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas (“PT”).
Dengan demikian, keberadaan Pasal 9 ayat (3) UUPT ini sangat tidak tepat.
2. Pasal 10 ayat (1) UUPT berbunyi: Permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung.
Notaris mengajukan permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini a quo secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan validilitas-legalitasnya. Hal ini dicermati dalam undang-undang a quo bahwa baik di dalam konsiderans maupun di bagian penjelasan, tidak ditemui keterangan tentang legal rationing atau ratio legisnya pasal tersebut.
3. Pasal 10 ayat (9) UUPT berbunyi: Dalam hal permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu tersebut dan perseroan yang belum memperoleh status badan hukum bubar karena hukum dan pemberesannya dilakukan oleh pendiri.
Jika sebuah Akta Notaris telah memenuhi syarat lahir, formal, dan materil, maka tidak ada Akta Notaris yang serta merta batal karena lewat waktu. Ada tata cara agar Akta Notaris batal, yaitu telah dilanggarnya syarat lahir, formal, dan materil, dan ini harus melalui pembuktian ketat berdasarkan putusan pengadilan, karena pada dasarnya Akta Notaris harus memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkannya. Dengan demikian ketentuan batal tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan dan telah melanggar ketentuan syarat lahir, formal dan materil Akta Notaris.
4. Pasal 10 ayat (10) UUPT yang menunjuk kepada Pasal 10 ayat (1) UUPT.
Akta Notaris akan tetap berlaku dan mengikat sepanjang selama tidak dibatalkan oleh para pihak atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, oleh karena itu Akta Notaris mempunyai umur yuridis yang akan disimpan oleh Notaris sendiri atau pemegang protokolnya selama eksistensi lembaga Notariat ada. Suatu hal yang sangat di luar batas dan tidak sesuai dengan makna Akta Notaris, jika Akta Notaris yang dibuat telah sesuai tata cara pembuatan Akta Notaris, dinilai menjadi tidak ada artinya, karena suatu alasan yang tidak jelas berdasarkan hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut di atas.
5. Pasal 21 ayat (5) UUPT berbunyi: Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. (RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham).
Substansi pasal tersebut sangat merugikan, jika sebuah PT yang telah berstatus badan hukum, anggaran dasarnya tidak dinyatakan dengan Akta Notaris. Dalam kaitan ini pasal tersebut tidak memberikan jalan keluar apapun. Dikhawatirkan jika pasal tersebut diterapkan, maka akan menghambat operasional suatu perseoran terbatas.
6. Pasal 21 ayat (6) UUPT berbunyi: Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Substansi pasal ini telah memasung hak perdata dari subyek hukum berupa perseroan terbatas. Hukum telah menentukan bahwa perseroan terbatas yang telah berbadan hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagaimana subyek hukum lainnya yaitu manusia. Oleh karena itu, adanya “larangan” dalam pasal ini merupakan pemasungan hukum terhadap eksistensi perseoran terbatas. Apalagi dalam penjelasan pasal, tidak ada alasan mengapa harus ada “larangan” itu. “Larangan” yang dimaksud adalah larangan menyatakan perubahan anggaran dasar dengan Akta Notaris setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari.
Selain itu, pasal ini juga merupakan larangan kepada Notaris untuk tidak membuat Akta seperti itu. Oleh karena itu, keberadaan pasal tersebut tidak perlu dipertahankan.
7. Pasal 21 ayat (7) UUPT berbunyi: Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar.
Substansi pasal ini menimbulkan pertanyaan, apa dasar hukumnya permohonan persetujuan tersebut harus diajukan paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal Akta Notaris yang memuat perubahan AD tersebut. Memang jangka waktu sangat diperlukan, namun jangan dibebankan kepada jangka waktu, sehingga menjadi beban Notaris dan perseroan terbatas. Seharusnya, jangka waktu tersebut harus dibebankan kepada Menteri yang akan memberikan pengesahan, dalam arti dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima, maka Menteri wajib memberikan pengesahan, jika tidak memberikan pengesahan dalam jangka waktu tersebut, maka Menteri dianggap telah memberikan pengesahan. Bahwa dalam tata kelola pemerintahan yang baik, jangka waktu tersebut harus menjadi beban dan kewajiban pemerintah sebagai pelayan masyarakat.
8. Pasal 21 ayat (8) UUPT berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri.
Sama seperti Pasal 21 ayat (7) UUPT tersebut di atas, jangka waktu pengesahan, dalam berapa lama dapat dilakukan merupakan beban dan kewajiban pemerintah.
9. Pasal 21 ayat (9) UUPT berbunyi: Setelah lewat batas waktu 30 (tigapuluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (7) permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri.
Suatu hal yang sangat tidak tepat atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku, jika suatu Akta lewat batas waktu (expired), menjadi tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri untuk disetujui. Apa dasar dan alasannya, Menteri tidak mau menerima Akta seperti itu? Bukankah pemerintah (Menteri) telah menempatkan dirinya sendiri sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan persetujuan tersebut? Seharusnya batasan waktu seperti itu tidak perlu ada. Jika hal itu terjadi, karena alasan tertentu, apakah harus dilakukan RUPS lagi, dan bagaimana nasib dari RUPS yang telah lewat itu? Jika pasal ini masih tetap dipertahankan, dan di sisi yang lain tidak memberikan jalan keluar sama sekali, maka yang akan terjadi adalah kemacetan hukum untuk permohonan persetujuan seperti itu, dan pada akhirnya masyarakat dan Notaris akan sangat dirugikan.
10. Pasal 157 menegaskan:
(1) Anggaran dasar dari Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri dan didaftarkan dalam daftar perusahaan sebelum undang-undang ini berlaku, tetap berlaku jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
(2) Anggaran dasar dari Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau angaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan undang-undang ini.
(3) Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya undang-undang ini wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini.
(4) Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan negeri atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Memberikan kewenangan kepada kejaksaan ataupun kepada pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu tindakan hukum tersebut di atas untuk membubarkan perseroan terbatas tersebut, sebenarnya tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan hukum yang jelas, bukan hanya semata-mata AD nya belum menyesuaikan atau tidak menyesuaikan dengan UUPT yang baru.
Substansi Pasal 157 UUPT dapat ditafsirkan bahwa, meskipun sampai saat ini masih banyak perseroan terbatas belum menyesuaikan anggaran dasarnya, walau telah melampaui satu tahun sejak berlakunya UUPT yaitu tanggal 16 Agustus 2008, tidak serta merta PT tersebut bubar demi hukum, namun dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, selama tidak ada yang mengajukan permohonan untuk membubarkan perseroan tersebut, maka PT tersebut tetap diakui sebagai badan hukum.
11. Status Perseroan sebagai Badan Hukum
Pada dasarnya ada empat cara terbentuknya badan hukum, yaitu :
a. Sistem Konsesi atau Sistem Pengesahan
Menurut sistem ini, suatu lembaga akan memperoleh kedudukan atau status sebagai badan hukum karena disahkan oleh instansi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan tertentu. Misalnya, PT memperoleh status sebagai badan hukum karena mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
b. Ditentukan oleh Undang-undang.
Menurut sistem ini, undang-undang telah menentukan sendiri bahwa lembaga yang tersebut dalam undang-undang bersangkutan merupakan badan hukum. Contohnya Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, disebutkan bahwa perhimpunan penghuni rumah susun yang didirikan menurut ketentuan undang-undang ini diberi kedudukan sebagai badan hukum.
c. Sistem Campuran
Menurut sistem ini, status badan hukum diperoleh karena ditentukan oleh undang-undang itu sendiri dan setelah ada pengesahan dari instansi yang berwenang. Contohnya Koperasi, berdasarkan Pasal 9 UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, ditegaskan bahwa Koperasi memperoleh statsus badan hukum setelah Akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah (dalam hal ini departemen koperasi atau menteri yang membidangi urusan koperasi).
d. Melalui Yurisprudensi
Status badan hukum diperoleh melalui yurisprudensi, contohnya Yayasan menurut Putusan Hogerchtshof 7884 (Mahkamah Agung Hindia-Belanda)
Berdasarkan uraian di atas, status Badan Hukum PT dalam UUPT, menganut sistem campuran. Lihat Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa PT adalah Badan Hukum dan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan pada Pasal 7 ayat (4).
Penulis (Habib Adjie) berpendapat bahwa status badan hukum untuk perseroan ataupun untuk yang lainnya akan diperoleh berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM ataupun dari otoritas pemerintah lainnya tidak perlu dilakukan, dengan alasan, antara lain:
1. Tidak ada pertanggungjawaban dari pemerintah, jika PT yang telah memperoleh status badan hukum, ternyata PT tersebut bermasalah dalam operasionalnya, karena pertanggungjawaban PT akan dikembalikan kepada para pemegang saham, direksi, dan komisaris PT yang bersangkutan.
2. Saat ini institusi yang akan memberikan status badan hukum, ada 2(dua), yaitu Menteri Hukum dan HAM, dan Dinas Koperasi (kota/kabupaten/propinsi) untuk Koperasi.
Dengan demikian, harus dikembangkan suatu teori baru tentang perolehan status badan hukum untuk PT ataupun yang lainnya. Yaitu, status badan hukum tersebut akan diperoleh setelah Akta Pendirian PT telah selesai dilakukan di hadapan Notaris, maka pada saat itu juga PT telah memperoleh kedudukan sebagai badan hukum, sedangkan kepada Menteri Hukum dan HAM cukup Notaris yang bersangkutan untuk melaporkannya secara elektronik dengan telah didirikannya PT di hadapan Notaris yang bersangkutan. Dalam hal ini aturan hukum yang bersangkutan cukup menegaskan bahwa lembaga tertentu akan berkedudukan sebagai badan hukum setelah Aktanya dibuat di hadapan Notaris.
--------------------------
Nantikan BAGIAN KEDUA tulisan ini yang akan memuat ringkasan tulisan:
2. Tulisan oleh :DR. Jonker Sihombing, S.E., M.H., MA.
Judul :Implikasi dan Konsekuensi Hukum Atas Perseroan Terbatas yang Tidak
Menyesuaikan Anggaran Dasarnya Sesuai UU No. 40 Tahun 2007
Penulis mengawali dengan gambaran umum UUPT, tinjauan teoritis tentang PT, seluk beluk penyesuaian anggaran dasar (“AD”), kemudian dilanjutkan dengan konsekuensi dan implikasi hukum yang timbul akibat keterlambatan/kealpaan penyesuaian AD, dan ditutup dengan seputar permasalahan hukum PT yang terlambat menyesuaikan AD dan kemudian jatuh pailit.
3. Tulisan oleh :DR. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M.
Judul :Analisis Hukum: Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Pembubaran dan
Likuidasi Perseroan Terbatas
Penulis mengawali tulisannya dengan Pendahuluan yang berisi latar belakang, alasan, dan peran penting Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”). Kemudian dilanjutkan dengan Fungsi dan Tugas LPS, termasuk namun tidak terbatas pada prosedur Penanganan Bank Gagal. Di bagian selanjutnya, masalah-masalah apa saja yang dihadap LPS dalam penanganan Bank Gagal, diakhiri dengan Penutup.
Semoga Bermanfaat. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar