Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Januari 2010

Tobatnya Shahabat Anshar yang Melihat Wanita Mandi

Kisah ini disalin apa adanya dari http://eramuslim.com/syariah/bercermin-salaf/tobatnya-shahabat-anshar-yang-melihat-wanita-mandi.htm oleh Ustadz Mashadi
------------------------------------------------------------------------------------

Betapa generasi shalafus shalih telah melahirkan orang-orang yang terbaik di zamannya, yang sangat sulit akan ditemukan di zaman ini. Seperti diriwayatkan dari jabir bin Abdullah al Anshari radhiyallahu anhu: “Ada seorang pemuda Anshar masuk Islam, bernama Tsa’labah bin Abdurrahman”, ucapnya. Pemuda itu sangat senang dapat melayani Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Suatu ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk suatu keperluan, maka pemuda itu melewati sebuah pintu rumah lelaki Anshar, dan pemuda itu melihat seorang wanita Anshar sedang mandi. Lalu, pemuda yang bernama Tsa’labah itu, takut kalau Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan memberitahukan tentang perbuatannya, maka ia pun lari sekencang-kencangnya menuju gunung-gunung yang ada antara Mekah dan Madinah untuk bersembunyi.

Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, kehilangan Tsa’labah selama empat puluh hari, maka turunlah Jibril alaihis sallam kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mengatakan, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu mengirimkan salam dan berfirman kepadamu , “Sesungguhnya ada seorang lekaki dari umatmu telah berada di gunung-gunung ini memohon perlindungan kepada-Ku”.

Maka, Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda, “Wahai Umar dan Salman carilah Tsa’labah bin Abdurrahman dan bawalah ia kepadaku”. Selanjutnya, Umar bersama dengan Salman berjalan keluar dari jalan-jalan Madinah, dan bertemu dengan seorang pengembala di Madinah bernama Dzufafah, dan Umar bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu seorang pemuda yang berada di gunung ini, namnya Tsa’labah?”. Dzufafah menjawab, “Barangkali maksudmu adalah lelaki yang lari dari neraka jahanam?”. Umar bertanya, “Apakah yang kamu maksudkan bahwa ia lari dari neraka jahanam?”.

Dzufafah menjawab, “Karena, jika di waktu malam telah tiba, maka ia datang kepada kami dari tengah gunung-gunung ini dengan meletakkan tangannya diatas kepalanya sambil berteriak, “Wahai, seandainya, Engkau cabut nyawaku, dan Engkau matikan tubuhku, dan tidak membiarkan untuk menunggu keputusan takdir-Mu”. Dan, Umar menjawab, “Dialah lelaki yang kami maksudkan”, ucapnya. Kemudian, Umar datang kepadanya dan mendekapnya, dan Tsa’labah bekata, “Wahai Umar. Apakah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, tahu tentang dosaku?”. Umar menjawab, “ Saya tidak tahu, hanya kemarin beliau menyebutmu, lalu menyuruhku dengan Salman mencarimu”. Tsa’labah berkata, “Wahai Umar, janganlah engkau bawa aku kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali beliau sedang shalat. Maka, Umar segera kedalam barisan shalat bersama dengan Salman. Dan, ketika Tsa’labah mendengar bacaan Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam jatuh pingsan.

Ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah salam, Beliau bersabda, “Wahai Umar, wahai Salman apa yang dilakukan Tsa’labah?”. Keduanya menjawab, “Ini dia Rasulullah”. Kemudian, Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri menggerak-gerakan badan Tsa’labah, dan membangunkannya”. Lalu, Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau menghilang dariku?”. “Dosaku sangat besar, wahai Rasulullah”, ucap Tsa’labah. Dan, Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda, “Tidakkah aku pernah tunjukkan kepadamu ayat yang menerangkan penghapusan dosa dan kesalahan”. “Ya, wahai Rasulullah”, jawab Tsa’labah. Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda, “Bacalah”. “ …Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka”. (al-Baqarah : 201).

Tsa’labah berkata, “Wahai Rasulullah, dosaku sangat besar”. Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bahkan firman Allahlah yang paling besar”. Kemudian, beliau menyuruhnya pulang ke rumahnya. Sejak itu, Tsa’labah sakit selama delapan hari, kemudian datang Salman kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah, sudah tahukah engkau berita tentang Tsa’labah? Sesungguhnya, ia sedang sakit keras, karena perasaan dosanya”. “Marilah kita menjenguknya”, ucap Rasulullah.

Sesudah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai di rumah Tsa’labah, meletakkan kepala Tsa’labah diantas pangkuannya. Tetapi, setiap kepalanya diletakkan dipangkuan Rasulullah, selalu Tsa’labah menggesernya. “Kenapa kamu geserkan kepalamu dari pangkuanku?”, tanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Kapalaku penuh dengan dosa, wahai Rasulullah”, jawab Tsa’labah. Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya , “Apakah yang kamu lakukan?”, tanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Seperti rayap dan semut berada diantara tulang, daging dan kulitku”, jawab Tsa’labah. “Apakah yang kamu senangi?”, tanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Ampunan Tuhanku”, jawab Tsa’labah.

Kemudian, Jabir berkata, “Ketika itu turunlah Jibril Alaihisallam, mengatakan, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu mengirimkan salam padamu, dan berfirman, “JIka hamba-Ku ini menemui-Ku dengan dosa sejengkal tanah, maka Aku akan menemui dengan sejengkal ampunan”. Ketika itu, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam memberitahu Tsa’labah, dan seketika itu, Shahabat Tsa’labat menjerit, karena senang, dan kemudian meninggal.

Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, menyuruh para Shahabat lainnya,memandikan dan mengkafaninya. Ketika, beliau meshalatinya, belaiu datang berjalan dengan merangkak. Ketika dimakamkan, beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, kami melihatmu berjalan merangkak”. Kemudian, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Allah yang telah mengutusku sebagai Nabi dengan haq, aku tidak bisa meletakkan kakiku diatas bumi, karena banyaknya malaikat yang turun mengantarkan jenazah Tsa’labah”.  Wallahu’alam.

Rabu, 27 Januari 2010

Kudapati Mereka Bersyukur Ketika Sakit

Kudapati ia seorang yang mengalami kebutaan ketika usianya masih belum tua. Di saat yang lain kudapati  orang yang berusia sebaya dengan ayahku, ditimpa penyakit kanker dan aneka penyakit "orang kota" lainnya. Sementara di waktu yang lain, seorang yang masih muda, usianya masih 20-an, tetapi kelumpuhan sudah menjalar di tubuhnya sehingga tergeletak di kasur menjadi kesehariannya.

Herannya...
dari mulut-mulut mereka tak kudapati rasa marah, jengkel, murka atau semacamnya akibat penyakit yang mereka derita. Justru wajah-wajah yang tersenyum, kesabaran dan rasa syukur yang kudapati dari mereka. Subhanalloh, sungguh banyak pelajaran yang kuambil dari kisah-kisah mereka.

Jawabannya: ternyata mereka berpegang teguh pada janji Tuhannya.

“Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ditimpa suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan akhirat” [Al-Hajj : 11]

“Bersabarlah kalian, sesunguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar” [ Al-Anfal : 46]

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit atau sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya, seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhori)

Inilah motivasi supaya kita bersyukur akan ujian penyakit yang menimpa kita, kita meyakini sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam di atas sehingga kita semakin bersyukur atas ujian penyakit yang ditimpa oleh kita. Bahkan hanya sekedar keletihan, kecapaian, atau tertusuk duri yang kecil, semua itu dapat menghapuskan dosa kita, sebagaimana sabdanya shallahu’alaihi wasallam.

“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan nya.” (HR. Bukhari).

Wallahu alam

Orang yang Masuk Surga Lantaran Menyingkirkan Sesuatu yang Mengganggu dari Jalan

Orang yang Masuk Surga Lantaran Menyingkirkan Sesuatu yang Mengganggu dari Jalan Kaum Muslimin

DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar
http://alislamu.com

Pengantar

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan bahwa iman memiliki tujuh puluh lebih cabang, dan paling tinggi adalah ucapan, "Laa ilaaha illallah", sedangkan yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan. Dalam kisah ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan tentang seorang laki-laki yang dimasukkan surga oleh Allah hanya karena dia menyingkirkan dahan berduri dari jalan kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.

Teks hadis

Bukhari Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Ketika seorang laki-laki berjalan di satu jalan, dia melihat ranting berduri di jalan, lalu dia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuninya."

Dalam sebagian riwayat Muslim dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Seorang laki-laki melewati sebuah cabang pohon di badan jalan. Dia berkata, 'Demi Allah, aku akan menyingkirkan ini dari kaum muslimin agar tidak menganggu mereka.' Maka dia dimasukkan Surga."

Dalam riwayat Muslim yang lain dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda, "Sungguh, aku telah melihat seorang laki-laki berguling-guling di surga hanya karena dia memotong dahan pohon di badan jalan yang menganggu manusia."
Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shahihnya dalam kitabul Adzan, bab keutaman berangkat ke Zhuhur di awal waktu, 2/139, no.65; dalam kitabul Mazhalim, bab siapa yang mengambil dahan dan sesuatu yang menganggu orang-orang di jalan, lalu dia membuangnya, 5/118, no.2472.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam kitabul Bir Wash Shilah wal Adab, 4/2021, no. 1914; dan dalam kitabul Imarah, 3/1521, no. 1914.
Penjelasan Hadis

Hadis ini menjelaskan kisah seorang laki-laki yang sedang berjalan di satu jalan. Dia melihat dahan yang berduri bergelayut di jalan kaum muslimin, maka orang-orang yang lewat merasa tergangu. Dia bertekad untuk memotong dahan itu dan menjauhkannya dari jalan. Tujuannya sebagaimana yang secara nyata dikatakannya, adalah untuk menjauhkan sesuatu yang menganggu dari jalan kaum muslimin. Allah mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Rasulullah melihatnya sedang menikmati kemegahan surga dengan perbuatannya ini.

Laki-laki ini beramal sedikit dan meraih pahala besar. Rahmat Allah sangatlah luas dan karunia-Nya sangatlah agung. Apa yang dilakukan oleh orang ini dianjurkan oleh agama kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kita melakukan seperti yang dilakukan oleh orang ini. Beliau bersabda, "Jauhkanlah sesuatu yang menganggu dari jalan kaum muslimin. (Albani dalam Silsilah Shahihah no. 2373. Menisbatkannya kepada Abu Bakar bin Abu Syaibah dalam Al-Adab, Abu Ya'la dalam Musnad, Ad-Dhiya dalam Al-Muntaqa. Muslim meriwayatkan dengan maknanya dan diriwayatkan oleh Ahmad). Beliau memberi peringatan keras agar tidak menganggu jalan kaum muslimin. Tentang hal ini beliau bersabda, "Barangsiapa menganggu kaum muslimin di jalan mereka, maka dia memperoleh laknat mereka." (Al-Bani menisbatkannya dalam Silsilah (5/732), no. 2294, kepada Thabrani Abu Nuaim dalam Akhbari Ashbahan, Abu BakAr Asy-Syafii dalam Musnad Musa bin Ja'far).

Banyak sekali dalil-dalil dalam bidang ini yang menunjukkan akhlak luhur sebagai ciri khas kaum muslimin yang beramal dengan Islam. Mereka berusaha membersihkan jalan-jalan mereka, tidak mengotori dan membuatnya jorok, serta membuang sesuatu yang menganggu darinya. Mereka menjadikannya sebagai tuntunan hidup, berharap darinya pahala tanpa bersikap secara berlebih-lebihan.

Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis

1. Penjelasan tentang keutamaan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin yang mengandung pahala besar dan agung.
2. Luasnya rahmat Allah dan besarnya pahala-Nya. Allah membalas laki-laki ini dengan balasan yang besar, dengan memasukkannya ke surga lantaran amal yang sedikit, yaitu membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan.
3. Sejauh mana kaum muslimin menyelisihi ajaran-ajaran agama mereka. Sebagian tidak hanya tidak bersedia membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin, bahkan membuang sampah rumahnya dan sisa makanannya di jalan kaum muslimin.
4. Pohon yang boleh ditebang adalah yang mengganggu kaum muslimin. Pohon yang berguna bagi kaum muslimin, seperti pohon yang dipakai untuk berteduh, tidak boleh ditebang. Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam mengancam penebangnya dengan api neraka. Dalam hadis, "Penebang bidara akan dibenamkan kepalanya oleh Allah di neraka." (Dinisbatkan oleh Al-Bani dalam Silsilah Shahihah (2/175), no. 615, kepada Baihaqi dan lain-lainnya).

Sumber: diadaptasi dari DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Shahih Qashashin Nabawi, atau Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa, terj. Izzudin Karimi, Lc. (Pustaka Yassir, 2008), hlm. 274-277.

Kisah Umar yang Membuat Kenyang Rakyatnya

Kisah ini terjadi di saat Umar Ibn Khattab (atau biasa disebut Umar al-Faruq) saat beliau menjadi khalifah (Amirul Mukminin=Pemimpin Kaum Muslimin)

--------------------------


Zaid ibn Aslam dari bapaknya, Aslam, bekas pembantu Umar Ibn Al-Khattab, menceritakan:

"Kami keluar bersama Umar ibn Khattab -Allah ta'ala telah meridhai beliau- menuju Hiratu Waqim -suatu tempat dekat kota Madinah- sehingga ketika kami sampai di sebuah gunung, tiba-tiba kami melihat api yang menyala.

Maka al-Faruq berkata, "Wahai Aslam, sesungguhnya aku melihat di sana ada kafilah yang diterpa malam yang dingin. Mari kita pergi kesana."

Lalu kami keluar dengan berjalan cepat sampai mendekati mereka. Ketika kami sampai, kami melihat seorang perempuan dengan anak-anaknya sedang menunggu panci yang dipanaskan di atas api sementara anak-anaknya menangis karena menahan lapar yang sangat.

Kemudian Umar -radhiyallahu ta'ala anhu- berkata, "Assalamu'alaikum, wahai pemilik cahaya." Dia tidak suka mengucapkan, "Wahai pemilik api."

Lalu perempuan tadi menjawab, "Wa'alaikumus salam."

Umar bertanya padanya, "Bolehkah aku mendekat?''

Wanita tersebut menjawab pertanyaan Umar, "Kalau engkau berniat baik, maka mendekatlah. Namun jika tidak, maka sebaiknya engkau pergi."

Setelah mendapat izin, kami mendekatinya, Umar melanjutkan pertanyaannya, "Bagaimana keadaan kalian?"

Wanita tadi menceritakan keadaannya, "Kami diterpa oleh malam yang dingin."

Umar bertanya lagi, "Mengapa anak-anakmu menangis?"

Dijawab oleh wanita lagi, "Mereka menangis keras karena menahan lapar yang sangat."

"Lalu apa yang ada di dalam panci ini?" tanya Umar.

"Aku mendiamkan mereka dengan memanaskan periuk (periuk ini kosong) ini sampai mereka tertidur. Demi Allah, kami tidak diperhatikan oleh Umar." Wanita itu belum mengetahui bahwa orang yang ada di hadapannya itu adalah Umar.
Umar melanjutkan percakapannya, "Semoga Allah merahmatimu, apakah Umar mengetahui tentang kalian?"

"Dia diserahi urusan kami, namun dia melalaikan kami!" jawab si wanita.

Umar berbalik menghadapku seraya berkata, "Wahai Aslam, mari kita pergi." Kami pun berjalan cepat hingga sampai ke gudang penyimpanan tepung, lantas mengeluarkan setakar tepung dan lemak." Angkat semua ini agar aku bisa membawanya", kata Umar.

Aslam berujar, "Biarkan aku yang membawanya wahai Amirul Mukminin!"

Umar menjawab, "Apakah engkau akan menanggung dosaku pada hari kiamat?"

Maka aku mengangkat tepung ke atas pundaknya kemudian kami menuju tempat wanita tadi dengan cepat. Kemudian Umar meletakkan karung berisi tepung di sisi wanita tersebut, lalu beliau mengeluarkan sedikit tepung tadi seraya berkata pada si wanita, "Tuangkanlah tepung itu, aku akan mengaduknya." Mulailah Umar meniup kayu bakar di bawah periuk tersebut, sementara Umar adalah seorang yang berjenggot lebat. Aku melihat asap yang keluar dari sela-sela jenggotnya sampai beliau selesai memasak."

Kemudian Umar menurunkan periuk itu dengan tangannya sambil berkata, "Berikanlah kepadaku sesuatu." Maka wanita itu menyerahkan sebuah piring besar. Umar menuangkan makanan tersebut ke dalamnya dan berkata kepada wanita tadi, "Berikanlah anak-anakmu makan, aku yang akan menuangkannya." Demikianlah seterusnya hingga mereka merasa kenyang. Umar meninggalkan sebagian sisa tepung tadi untuk wanita itu. Setelah itu Umar berdiri dan mereka pun ikut berdiri mengiringi Umar. Umar pun tertawa dan memuji Allah Azza wa Jalla.

Wanita itu berkata mengungkapkan rasa terima kasihnya, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Apa yang kau lakukan ini lebih utama daripada Amirul Mukminin."

Maka Umar menjawab, "Katakanlah ucapan yang baik. Kalau engkau mengunjungi Amirul Mukminin, insya Allah engkau akan mendapati diriku di sana."

Kemudian Umar menggandeng tanganku dan kami pun pergi menuju Madinah. Umar berkata kepadaku, "Wahai Aslam, sesungguhnya rasa lapar itu adalah musuh. Tadi aku melihat mereka dalam keadaan menangis, maka aku ingin meninggalkan mereka dalam keadaan tertawa."

---------------------------------------------------------------------------------------

Demikianlah sifat al-Faruq. Beliau sangat bersemangat memberi kebaikan pada rakyatnya. mencintai mereka dan mecari kesenangan rakyatnya siang dan malam.

disalin dari Buku : 10 Sahabat Pemetik Janji Surga (Al' Asyah Al Mubasysyaruna bin Jannah lil 'Athfal) karya Abu Maryam Majdi bin Fathi Az Zayyid, diterjemahkan oleh Pelajar Putri Pondok Pesantren al-Furqon Kroya Bagian Tarbiyatun Nisaa'. cet. keempat. Jakarta, Penerbit Pustaka Al-Haura', 1430 Hijriah. Halm. 85-88.

Senin, 25 Januari 2010

Jendela Rara, Impian Seorang Anak Kolong Jembatan

Ketika membaca Jendela Rara, cerpen karya Asma Nadia, pikiranku langsung tertuju pada sebuah perjumpaan sekitar tujuh tahun yang lalu.

Ya. Tujuh tahun lalu ketika aku masih berbaju SMA dan berambut—rada—gondrong.

Perjumpaan dengan seorang anak kecil berwajah kusam, berbaju dekil, rambutnya kuning kecoklatan seperti sering terkena sinar matahari---yang di kemudian hari kuketahui---ia biasa berlari dan tertawa lebar, bercanda bersama teman sebaya di antara padatnya desingan mobil, asap motor, bus kota, sambil mengamen di lampu merah Fatmawati, seberang Apotek Retna.

Siang hari yang panas, pulang sekolah, turunlah aku dari Metro Mini 610 Jurusan BlokM-Pd.Labu.

Biasanya turun di Pasar, tapi saat itu –seperti kebiasaan 610 sampai saat ini--- penumpang di “oper”. Di “oper” ke 610 yang ada di belakangnya.

Belum sempat menginjakkan kaki di aspal, seketika tanganku ditarik oleh seorang sosok kecil.

“Kak, boleh minta tolong, mau tanya, Matahari atau Bumi yang berputar?

Aku pun tersenyum,

anak kecil ini menyodorkan secarik kertas lusuh dan sebuah pena berwarna hitam.

“Kak, bumi ada di mana? Planet kita ada di mana? Gambarin donk Kak!”

“Ini kamu mau ujian? Sekolah dimana?”

“Jelasin donk kak…”

Aku pun mulai menggambar posisi matahari dan planet-planet dalam tata surya kita, seraya menjawab pertanyaannya. Aku jelaskan dengan bahasa yang sesederhana mungkin dan kuharap mudah ia pahami.

“Trimakasih ya Kak…”

“Trimakasih kembali.”

Sambil saling tersenyum bahagia, kami berpisah dan tak pernah lagi aku berjumpa dengan anak itu sampai detik ini.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Maka izinkanlah saya membagi kisah kepada Anda. Kisah nyata saya di atas, ada kesamaan nya dengan cerpen karya Asma Nadia yang akan Anda baca di bawah ini. Anak-anak—sekalipun Anak Jalanan, tapi jiwa mereka tetap Anak-anak—begitu polos dan memiliki keinginan yang besar. Semoga melahirkan inspirasi, pembelajaran, semangat baru, dan kepedulian pada sekitar kita.

Jendela Rara

Disalin apa adanya dari Album Cerita Pilihan Asma Nadia Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci, Terbitan Asma Nadia Publishing House, hlm. 87-99, Cet. Pertama, Agustus 2009.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah rumah imut
dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati

Apa lagi?

Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis.

“Mak, kapan kita punya rumah?”

Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apapun dari anak-anak lebih sering hanya lewat di telinga.

“Mak, kapan kita punya rumah?”

Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggunggnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya—sekarang empat---memulai dan mengakhiri hari-hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana.

Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh,langsung dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas.

Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa setiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap…

“ini rumah kita, Ra!”

Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa garang matahari bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan tumah tinggal yang diimpikannya:

Sebuah rumah imut
dengan dinding kehijauan berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati

Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya.

“Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!”

“Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Kemana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya, ke rumah Mas Dadang tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari?

Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot?

Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. Anaknya yang keempat, bocah laki-laki, selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka menyantap anak-anak kecil.

Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah.

“Jendelanya bisa masuk matahari, enggak, Mak?”

Rara menggoyang bahu Emanknya. Tapi kali ini perempuan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari.

Di Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!”

Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di sekitarnya, kawan-kawan sedang mengikuti surat Al-Ma’un yang diucapkan Kak Romlah.

“Yang bener, Ra?”

Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering bicara soal keinginnannya memiliki rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalamnya.

“Kita bisa hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!”

Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang lebar.

“Bisa belajar di sana dong?”

“Iya! Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?”

Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang.

“Aku mau minta ibuku bikin jendela juga, ah!”

“Aku juga!”

“Apa? Jendela di rumah Rara?”

“Gue juga deh. Mau bilang Bapak!”

“Enak ada jendela!”

Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain.

“Jendelaku nanti paling buesar!”

Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah.
------
“Jadi bikin jendela, Ra?”

Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya.
“Udah malam kok belum tidur?”

Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi.

“Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi.

“Jendela? Kok gede banget!”

Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Senyumnya cerah.

“Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan penuh harap.

Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar using. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih besar. Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol plastik atau barang-barang lain . Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas saja.

“Bang…”

Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saat Rara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak semangat.

“Masih ngeributin soal jendela?”

Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis.

“Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, engga enak sama Mami.”

“Bilang aja lo sakit, sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan enggak cuma elo.”
“Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki!

Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya. Tapi kalimat kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!”

Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya.

“Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!”

Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanannya makin menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya juga jadi kasar.

Rara tahu, tidak Cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah terlalu menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut Jakarta yang bukan tidak diketahui orang.

Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum.

“Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara.

“Asih!”

Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun.

“Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara.

Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus kearah Asih yang menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu…

“Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang masuk!” jawab Rara tak kalah keras.

“Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu?

“Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?”

Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai-belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara lunak.

“Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…”

“Dan itu mahal, tau, Ra!”

“Ssst… Asih!”

Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca. Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara berisik yang timbul, lalu menempeleng keduanya.

Dan semua gara-gara jendela besar Rara.

Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara.

Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari kepadanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari.

Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan , tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.

Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.

“Assalamu’alaikum! Emak?”

Rara menghambur kearah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.

“Mak, sini.”

Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah.

“Apaan sih, Ra?”

Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat menguap dan hilang dari ingatan.

Rara masih memandang Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval.

“Mak, tebak!”

“Apaan?”

Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas.

Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat.
“Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih gosong, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita! Papar gadis kecil itu ceriwis.

Jendela?

Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya, dan raut wajah di bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah Emak. Bocah perempuan itu malah terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup-letup.

“Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara mau nya kayunya warna cokelat tua. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu, terus kaca, terus…”

Emak tak mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya digayuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretarisnya dan berbicara serius.

“Gara-gara Rara, semua anak di sini pada minta dibuatin jendela sama orangtuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Emak tahu sendiri situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bisa mengizinkan!”

Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di bawah kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar.
Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpalan uang kertas dan receh di tangannya.

Rumah kami, 2003